ANALISIS SPASIAL DAN PEMODELAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI SUMATERA BARAT

Authors

  • Devy Shintya Universitas Islam Sumatera Barat
  • Ridholla Permata Sari Universitas Islam Sumatera Barat
  • Dilla Sriwahyuni Universitas Islam Sumatera Barat
  • Rira Fauziah Hasibuan Universitas Islam Sumatera Barat
  • Srasomi Srasomi Universitas Islam Sumatera Barat
  • Satiya Enjelin Universitas Islam Sumatera Barat
  • Avivah Resta Nirmala Universitas Islam Sumatera Barat

DOI:

https://doi.org/10.31004/jkt.v6i2.45823

Keywords:

filariasis, faktor resiko, Pemetaan

Abstract

Sumatera Barat masih tergolong endemis filariasis dan terjadi peningkatan kasus baru pada tahun 2019 sebanyak 15 kasus. Provinsi Sumatera Barat menempati urutan ke-12 kasus filariasis tertinggi di Indonesia dan menduduki peringkat pertama angka prevalensi filariasis tertinggi di pulau Sumatera yaitu 3,3 per 100.000 penduduk. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis serta mengelompokkan dan memetakan kejadian filariasis berdasarkan faktor risiko di Provinsi Sumatera Barat tahun 2018-2022. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan design studi ekologi. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh kasus filariasis yang tercatat di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2018-2022. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2022- Juli 2023. Pengolahan data menggunakan analisis univariat, bivariat, multivariat, dan spasial. Hasil penelitian menunjukkan distribusi kasus filariasis mengalami penurunan. Hasil analisis korelasi kasus filariasis dengan kepadatan penduduk (p=0,013, r = -0,253), ketinggian wilayah (p=0,000, r =-0,497), kepadatan hunian (p=0,889, r=0,014), tingkat sosial ekonomi (p=0,01, r= 0,326), dinding rumah (p=0,073, r=0,185), suhu (p=0,222, r=0,127) kelembaban (p=0,048, r= 0,203), dan curah hujan (p=0,032, r= 0,22). Faktor resiko paling dominan adalah tingkat sosial ekonomi. Kabupaten Mentawai merupakan wilayah yang sering masuk kluster beresiko berat. Simpulan hasil penelitian yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan penduduk, ketinggian wilayah, sosial ekonomi, kelembaban dan curah hujan dengan kejadian filariasis, tidak terdapat hubungan antara kepadatan hunian, dinding rumah dan suhu dengan kerjadian filariasis.  

References

BPS Provinsi Sumatera Barat. (2022). Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Sumatera Barat 2022.

Darmawan, A., Aurora, W. I. D., Maria, I., Kusdiyah, E., Nuriyah, & Guspianto. (2021). Analisis Pemetaan dan Determinan Penyakit Berbasis Lingkungan di Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2020. JMJ, Special Issues, JAMHESIC, 428–436.

Fitriyana, Sukendra, D. M., & Windraswara, R. (2018). Distribusi Spasial Vektor Potensial Filariasis dan Habitatnya di Daerah Endemis. Higeia Journal of Public Health Research and Development, 2(2), 320–330.

Kemenkes RI. (2022). Profil Kesehatan Indonesia 2021.

Local Burden of Disease 2019 Neglected Tropical Diseases Collaborators. (2020). The global distribution of lymphatic filariasis, 2000–18: a geospatial analysis. Lancet Glob Health, 8, e1186–e1194.

Masrizal, Diana, F. M., & Rasyid, R. (2017). Spatial Analysis of Determinan of Filariasis-Endemic Areas in West Sumatra. Kesmas: National Public Health Journal, 12(2), 79–86.

Masrizal, & Sari, N. P. (2016). Analisis Kasus DBD Berdasarkan Unsur Iklim dan Kepadatan Penduduk Melalui Pendekatan GIS di Tanah Datar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalah (JKMA), 10(2), 166–171.

Mutheneni, S. R., Upadhyayula, S. M., Kumaraswamy, S., Kadiri, M. R., & Nagalla, B. (2016). Influence of socioeconomic aspects on lymphatic filariasis: A case-control study in Andhra Pradesh, India. J Vector Borne Dis, 53(9), 272–278.

Novita, R. (2019). Dampak Perubahan Iklim Terhadap Timbulnya Penyakit Tular Nyamuk Terutama Limfatik Filariasis. JHECDs (Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases, 5(1), 30–39.

Nurdin, H., Muhammad, V. I. M., Sahdan, M., & Setyobudi, A. (2022). Pengaruh Iklim Terhadap Penyakit Berbasis Vektor Nyamuk di Kota Kupang Tahun 2020. Buletin GAW Bariri (BGB), 3(1), 1–7.

Nurhayati, Saleh, I., & Trisnawati, E. (2014). Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Kerawang Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Mahasiswa Dan Penelitian Kesehatan - JuManTik, 1(1), 22–37.

Palaniyandi, M. (2014). A Geo-spatial Modeling for Mapping of Filariasis Transmission Risk in India, Using Remote Sensing and GIS. International Journal of Mosquito Research, 1(1), 20–28.

Pi-Bansa, S., Osei, J. H. N., Frempong, K. K., Elhassan, E., Akuoko, O. K., Agyemang, D., Ahorlu, C., Appawu, M. A., Koudou, B. G., Wilson, M. D., Souza, D. K. de, Dadzie, S. K., Utzinger, J., & Boakye, D. A. (2019). Potential Factors Influencing Lymphatic Filariasis Transmission in “Hotspot” and “Control” Areas in Ghana: The Importance of Vectors. Infectious Diseases of Poverty, 8(9), 1–11.

Salim, M. F., Satoto, T. B. T., & Kusnanto, H. (2016). Zona Kerentanan Filariasis Berdasarkan Faktor Risiko dengan Pendekatan Sistem Informasi Geografis. Journal of Information System for Public Health, 1(1), 16–24.

Sifia, R., & Nadia, C. S. (2020). Analisis Risiko Penularan Filariasis Limfatik di Kabupaten Aceh Utara. Jurnal Avverous, 6(1), 1–16.

Sofia, Suhartono, & Wahyuningsih, N. E. (2014). Hubungan Kondisi Lingkungan dan Perilaku Keluarga dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Aceh Besar . Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 13(1), 30–38.

WHO. (2022). Towards Eliminating Lymphatic Filariasis: Progress in The South-East Asia Region.

Widawati, M., Nurjana, M. A., & Mayasari, R. (2018). Perbedaan Dataran Tinggi dan Dataran Rendahterhadap Keberagaman Spesies Anopheles spp. diProvinsi Nusa Tenggara Timur. ASPIRATOR, 10(2), 103–110.

Downloads

Published

2025-06-30

Issue

Section

Articles